Aku juga sangat bersyukur karena Allah telah menghadiahkan pangeran yang tak sempurna ini padaku. Sungguh dia melengkapiku.
“kamu dimana sih, aku lelah sudah
memutari taman ini beberapa kali tapi kamu tak terlihat sama sekali. Kakiku
serasa mau copot, jelek!!”. Dia malah mematikan telfonku, awas kau Tino, aku
marah padamu. Dia menyuruhku datang ke taman kota 30 menit yang lalu, katanya
sangat penting dan aku harus datang secepatnya. Aku sudah memutari taman ini
berulang kali untuk menemukan sosok bersenyum manis itu, tapi aku tak menemukan
dimanapun. Aku melihat sekelebat orang yang sangat mirip dengan wajah Dena
–sahabatku, dan beberapa temanku yang lain saat aku pertama memasuki taman ini.
Aku punya firasat yang tak mengenakan. Kucoba menghubunginya tapi yang kudengar
hanya dengungan operator yang sibuk menyambungkan panggilanku padanya. Awas kau
pipi tembam, kau akan membayar ini karena tak mengangkat telfonku. Aku mencoba
menghubungi Tino lagi, tapi aku memperoleh hasil yang sama, sia –sia.
Setelah berulang –kali menelfon untuk yang kesekian kalinya
telfonku dijawab olehnya. “kenapa kamu matiin telfonku yang tadi ? kamu
sebenarnya dimana ?” dia tak menjawab apapun. Akhirnya aku memilih duduk
dikursi taman yang dekat dengan sebuah caffe sederhana yang biasa aku kunjungi
dengannya. “kalau tak ada yang penting aku mau pulang” ucapku lemah. Rasanya
air mata ini mau meleleh saat tak ada jawaban apapun yang aku dengan
setelahnya. “ ya sudah aku pulang, nanti hubungin aku ya” tak terasa air mataku
luluh. Dia hanya mengerjaiku ternyata. Aku berusaha untuk menghubungi Dena
lagi, untungnya dia mejawab. “Lo dimana, Den. Gue kesitu ya” singkatku setelah
mngucapkan salam. “nggak usah gue aja yang kesitu...” jawabnya setelah itu
telfonku dimatikan olehnya. Hah, dasar anak itu. Akupun menunggu dengan air
mata yang terus meleleh.
Tiba –tiba dari belakang ada suara yang sangat aku kenal
membisikkan kata cemoohan, “dasar cengeng..” akupun menoleh dan melihat Tino
berdiri dibelakangku dengan seyuman yang sangat aku kagumi dari dirinya.
“jelek... kemana aja sih. Aku capek tahu” dengan senyuman lega dan air mata
yang masih meleleh aku hampiri dia dan mencubit pipinya –kebiasaanku saat aku
gemas padanya.
“eeh, udah dong. Iya deh maafin aku ya” dia menunjukkan senyum
itu lagi. “gak aku maafin...” singkatku. Dia mengacugkan sebuah cup choco ball
yang sangat aku sukai, “selamat ulang tahun ya, jelek. Aku bohong baget kalau
gak sayang sama kamu. Semoga kamupun sebaliknya ya” ucapnya tanpa kata romantis
yang biasa membuat gadis melayang, tapi itulah Tinoku. Dan aku sangat
menyayangi dan juga mencintainya. Kupeluk dia singkat sebagai rasa terima
kasihku. Dia pun mengajakku untuk makan malam di caffe tadi. Caffe tersebut
terdiri atas ruangan –ruangan pribadi seperti ditempat karaoke tapi dilapisi
kaca yang cukup terang dan dapat dilihat dari luar.
Saat kami masuk, ada sebuah ruangan yang dihiasi sedemikian
rupa, balon berwarna baby blue memenuhi ruangan itu dan bungan mawar putih kesukaanku
juga menghiasinya, serta lampion –lampion kecil menggantung rapi
disekelilingnya. Indah batinku. “pasti senang banget ya, yang dapat kejutan
itu” celetukku pada Tino. Dia hanya menanggapi dengan deheman dan senyuman
manisnya. Kami semakin dekat dengan ruangan itu, “No, bagus banget...” ucapku
setelah melewati ruangan itu, tapi aku seperti mengenal orang –orang yang
berada di dalam sana. Ada Dena, Fita, Fira, Ineke, Rendra, Mario dan kedua
kakakku –kak Revan dan Nisya. “No, kok mereka ada disana” ucapku dengan
menghentikan langkahku tepat didepan pintu masuk. Sepertinya mereka tak
menyadari kedatangaku dan Tino.
“ayo, masuk saja. Kamu udah dirunggu dari tadi sama mereka.
Pake lama sih, dasar jelek” ejeknya dan mengacak rambutku lembut. “tapi aku
kira Cuma berdua aja” saat aku menyelesaikan kalimatku kak Nisya – saudara
iparku, yang menghadap pintu menyadari kedatangan kami. “pemeran utama sudah
datang anak –anak, cepat buakain pintunya” seru kakak cerewetku. Dena pun
membuka pintu, “mari masuk pangeran dan putri...” aku yang mendengar itu langsung
menusukkan mata tajamku padanya. Dasar tembem.
Setelah kami masuk, ternyata dekorasi khusus itu untuk
merayakan ulang tahunku. Aku bersyukur bisa dikelilingi oleh orang –orang yang
sangat menyayangiku dan peduli seperti saat ini, kami bercanda dantertawa
bersama. Aku juga
sangat bersyukur karena Allah telah menghadiahkan pangeran yang tak sempurna
ini padaku. Sungguh dia melengkapiku.
Tiba –tiba terdengar lagu Marry You dari Jason Derulo dan
Tino meraih tanganku dan menggengamnya. “kamu tahu sendiri aku tak pernah bisa
berkata romantis seperti orang diluaran sana, kan ?” itu kata pertama yang Tino
ucapkan membuat semua orang yang duduk diruangan itu memperhatikan kita dengan
kebisuan. Aku hanya menganggukan kepalaku dengan tatapan bingung yang sangat
jelas. Apa –apaan anak ini. “kamu juga tahu sekali kalau aku tak bisa berlaku
seperti drama –drama Korea yang sering kamu tonton. Aku jauh dari kata
sempurna, kamu tahu itu juga kan?.” Dia menghela nafas sejenak dan aku kedua
kalinya menganggukan kepala “Gadis pintar”ucapnya. “terima kasih sudah mau
menerima kekeras kepalaanku..., pengertianmu dalam menghadapiku, dan juga
kesabaranmu selama 3 tahun ini. Lalu terima kasih untuk Ibu yang sudah
melahirkanmu, Ayah yang sudah mendidikmu dan kak Revan yang sudah menjagamu
selama ini.” Dia menghela nafas untuk kedua kalinya sambil menggaruk kepalanya
yang aku yakin tak gatal, dia hanya mencoba untuk menutupi kegugupannya “Ah,..
aku rasa, aku tak bisa berkata –kata lagi “ dia tersenyum dan diikuti derai
tawaku dan penonton disekeliling kami. Aku rasa air mataku sudah mau menetes,
pandanganku buram. Aah dasar pria jelek ini, akupun tersenyum.
Dia menoleh pada kak Revan yang duduk diujung bersama
istrinya yang mengenggam tangannya, “kak Revan bolehkah aku menggantikanmu
menjaga gadis jelek ini ?” lagi, tawa riuh menggema dari ruangan kami. “selama
gadis jelekmu itu menerima aku akan memperbolehkannya. Lagipula, aku sudah
bosan terus menjaganya, hahaha” aku langsung melayangkan padangan tajamku dan
geraman jengkel pada kakak tersayangku itu. “Farisha Gunawan apa kamu mau
menerima kekuranganku ini dengan menikah denganku?” Tino mengeluarkan korak
beludru berwarna biru dari saku jaketnya. Aku tersenyum, air mataku sudah
meleleh sejak tadi ia berterima kasih padaku, dia membuka kotak itu dan
menampilakan sebuah cincin berwarna perak sederhana dengan mata berlian
ditengahnya. Aku tak bisa berkata –kata lagi, tenggorokanku tercekat, alhasil
aku hanya menganggukan kepalaku dengan senyuman yang tak bisa aku hilangkan
dari wajah penuh air mataku. Dan Tino memelukku sebagai tanda terima kasihnya.
“aku akan membawa orang tuaku besok lusa...” aku hanya mengeratkan pelukanku
padanya. Suara tepuk tangan dan sorakan –pun memenuhi ruangan kami. Aku tak
habis mengucapkan kata syukurku pada Allah tentang apa yang telah terjadi hari
ini. Terima kasih ya Allah.