Kamis, 22 Oktober 2015

That Day !!!


Aku juga sangat bersyukur karena Allah telah menghadiahkan pangeran yang tak sempurna ini padaku. Sungguh dia melengkapiku.



Girl's POV

            “kamu dimana sih, aku lelah sudah memutari taman ini beberapa kali tapi kamu tak terlihat sama sekali. Kakiku serasa mau copot, jelek!!”. Dia malah mematikan telfonku, awas kau Tino, aku marah padamu. Dia menyuruhku datang ke taman kota 30 menit yang lalu, katanya sangat penting dan aku harus datang secepatnya. Aku sudah memutari taman ini berulang kali untuk menemukan sosok bersenyum manis itu, tapi aku tak menemukan dimanapun. Aku melihat sekelebat orang yang sangat mirip dengan wajah Dena –sahabatku, dan beberapa temanku yang lain saat aku pertama memasuki taman ini. Aku punya firasat yang tak mengenakan. Kucoba menghubunginya tapi yang kudengar hanya dengungan operator yang sibuk menyambungkan panggilanku padanya. Awas kau pipi tembam, kau akan membayar ini karena tak mengangkat telfonku. Aku mencoba menghubungi Tino lagi, tapi aku memperoleh hasil yang sama, sia –sia.
Setelah berulang –kali menelfon untuk yang kesekian kalinya telfonku dijawab olehnya. “kenapa kamu matiin telfonku yang tadi ? kamu sebenarnya dimana ?” dia tak menjawab apapun. Akhirnya aku memilih duduk dikursi taman yang dekat dengan sebuah caffe sederhana yang biasa aku kunjungi dengannya. “kalau tak ada yang penting aku mau pulang” ucapku lemah. Rasanya air mata ini mau meleleh saat tak ada jawaban apapun yang aku dengan setelahnya. “ ya sudah aku pulang, nanti hubungin aku ya” tak terasa air mataku luluh. Dia hanya mengerjaiku ternyata. Aku berusaha untuk menghubungi Dena lagi, untungnya dia mejawab. “Lo dimana, Den. Gue kesitu ya” singkatku setelah mngucapkan salam. “nggak usah gue aja yang kesitu...” jawabnya setelah itu telfonku dimatikan olehnya. Hah, dasar anak itu. Akupun menunggu dengan air mata yang terus meleleh.
Tiba –tiba dari belakang ada suara yang sangat aku kenal membisikkan kata cemoohan, “dasar cengeng..” akupun menoleh dan melihat Tino berdiri dibelakangku dengan seyuman yang sangat aku kagumi dari dirinya. “jelek... kemana aja sih. Aku capek tahu” dengan senyuman lega dan air mata yang masih meleleh aku hampiri dia dan mencubit pipinya –kebiasaanku saat aku gemas padanya.
“eeh, udah dong. Iya deh maafin aku ya” dia menunjukkan senyum itu lagi. “gak aku maafin...” singkatku. Dia mengacugkan sebuah cup choco ball yang sangat aku sukai, “selamat ulang tahun ya, jelek. Aku bohong baget kalau gak sayang sama kamu. Semoga kamupun sebaliknya ya” ucapnya tanpa kata romantis yang biasa membuat gadis melayang, tapi itulah Tinoku. Dan aku sangat menyayangi dan juga mencintainya. Kupeluk dia singkat sebagai rasa terima kasihku. Dia pun mengajakku untuk makan malam di caffe tadi. Caffe tersebut terdiri atas ruangan –ruangan pribadi seperti ditempat karaoke tapi dilapisi kaca yang cukup terang dan dapat dilihat dari luar.
Saat kami masuk, ada sebuah ruangan yang dihiasi sedemikian rupa, balon berwarna baby blue memenuhi ruangan itu dan bungan mawar putih kesukaanku juga menghiasinya, serta lampion –lampion kecil menggantung rapi disekelilingnya. Indah batinku. “pasti senang banget ya, yang dapat kejutan itu” celetukku pada Tino. Dia hanya menanggapi dengan deheman dan senyuman manisnya. Kami semakin dekat dengan ruangan itu, “No, bagus banget...” ucapku setelah melewati ruangan itu, tapi aku seperti mengenal orang –orang yang berada di dalam sana. Ada Dena, Fita, Fira, Ineke, Rendra, Mario dan kedua kakakku –kak Revan dan Nisya. “No, kok mereka ada disana” ucapku dengan menghentikan langkahku tepat didepan pintu masuk. Sepertinya mereka tak menyadari kedatangaku dan Tino.
“ayo, masuk saja. Kamu udah dirunggu dari tadi sama mereka. Pake lama sih, dasar jelek” ejeknya dan mengacak rambutku lembut. “tapi aku kira Cuma berdua aja” saat aku menyelesaikan kalimatku kak Nisya – saudara iparku, yang menghadap pintu menyadari kedatangan kami. “pemeran utama sudah datang anak –anak, cepat buakain pintunya” seru kakak cerewetku. Dena pun membuka pintu, “mari masuk pangeran dan putri...” aku yang mendengar itu langsung menusukkan mata tajamku padanya. Dasar tembem.
Setelah kami masuk, ternyata dekorasi khusus itu untuk merayakan ulang tahunku. Aku bersyukur bisa dikelilingi oleh orang –orang yang sangat menyayangiku dan peduli seperti saat ini, kami bercanda dantertawa bersama. Aku juga sangat bersyukur karena Allah telah menghadiahkan pangeran yang tak sempurna ini padaku. Sungguh dia melengkapiku.
Tiba –tiba terdengar lagu Marry You dari Jason Derulo dan Tino meraih tanganku dan menggengamnya. “kamu tahu sendiri aku tak pernah bisa berkata romantis seperti orang diluaran sana, kan ?” itu kata pertama yang Tino ucapkan membuat semua orang yang duduk diruangan itu memperhatikan kita dengan kebisuan. Aku hanya menganggukan kepalaku dengan tatapan bingung yang sangat jelas. Apa –apaan anak ini. “kamu juga tahu sekali kalau aku tak bisa berlaku seperti drama –drama Korea yang sering kamu tonton. Aku jauh dari kata sempurna, kamu tahu itu juga kan?.” Dia menghela nafas sejenak dan aku kedua kalinya menganggukan kepala “Gadis pintar”ucapnya. “terima kasih sudah mau menerima kekeras kepalaanku..., pengertianmu dalam menghadapiku, dan juga kesabaranmu selama 3 tahun ini. Lalu terima kasih untuk Ibu yang sudah melahirkanmu, Ayah yang sudah mendidikmu dan kak Revan yang sudah menjagamu selama ini.” Dia menghela nafas untuk kedua kalinya sambil menggaruk kepalanya yang aku yakin tak gatal, dia hanya mencoba untuk menutupi kegugupannya “Ah,.. aku rasa, aku tak bisa berkata –kata lagi “ dia tersenyum dan diikuti derai tawaku dan penonton disekeliling kami. Aku rasa air mataku sudah mau menetes, pandanganku buram. Aah dasar pria jelek ini, akupun tersenyum.

Dia menoleh pada kak Revan yang duduk diujung bersama istrinya yang mengenggam tangannya, “kak Revan bolehkah aku menggantikanmu menjaga gadis jelek ini ?” lagi, tawa riuh menggema dari ruangan kami. “selama gadis jelekmu itu menerima aku akan memperbolehkannya. Lagipula, aku sudah bosan terus menjaganya, hahaha” aku langsung melayangkan padangan tajamku dan geraman jengkel pada kakak tersayangku itu. “Farisha Gunawan apa kamu mau menerima kekuranganku ini dengan menikah denganku?” Tino mengeluarkan korak beludru berwarna biru dari saku jaketnya. Aku tersenyum, air mataku sudah meleleh sejak tadi ia berterima kasih padaku, dia membuka kotak itu dan menampilakan sebuah cincin berwarna perak sederhana dengan mata berlian ditengahnya. Aku tak bisa berkata –kata lagi, tenggorokanku tercekat, alhasil aku hanya menganggukan kepalaku dengan senyuman yang tak bisa aku hilangkan dari wajah penuh air mataku. Dan Tino memelukku sebagai tanda terima kasihnya. “aku akan membawa orang tuaku besok lusa...” aku hanya mengeratkan pelukanku padanya. Suara tepuk tangan dan sorakan –pun memenuhi ruangan kami. Aku tak habis mengucapkan kata syukurku pada Allah tentang apa yang telah terjadi hari ini. Terima kasih ya Allah.