Selasa, 08 Desember 2015

Gonna be Your Groom


“Aku menerima semua, karena tanpa dirinya aku tak merasa benar.”

BOY'S POV

“hai, kau sedang memikirkan apa? Wajahmu sangat mencurigakan kau, tahu?”. Kenalkan dia calon istriku, dijari manisnya sudah ada sebuah cicin platina dengan sebuah berlian mungil ditengahnya, begitupun dijariku. Lalu, beberapa bulan lagi aku akan resmi menjadi ayah dari anak –anaknya kelak. Aku sangat –sangat bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi berbagai macam cobaan dan kejadian, hingga aku mengikatnya sekarang ini. Dia –Farisha Gunawan, gadis sederhana yang menabrakku dan mengambil hatiku saat pertama aku melihatnya di SMA dan mengakibatkan otakku menjadi penuh dengan wajah manisnya, setelahnya. Padahal kuakui, saat itu aku masih mempunyai seorang kekasih yang aku sayangi. Aku memang salah saat itu, tapi entah kenapa wajah panik dan polosnya memenuhi setiap bagian otakku sampai bagian yang terkecil sekalipun.

“hei....” dia menarik pipiku dengan tawa khasnya –kebiasaan yang susah sekali dia hilangkan, saat aku tak mendengarkan atau memperhatikan pembicaraanya. Bukannya marah, dia malah menarik pipiku dan menertawakan wajah semrawutku. Dia gadis yang sangat pengertian dan sabar, tapi juga tak hilang dasar sebuah hubungan –rasa cemburu. Dia akan mulai diam dan memproteskan kecemburuannya esoknya. “....kenapa kau tak mendengarku haa, Mr. Hamish?”. Saat ini kami berada disebuah cafe dua lantai yang memperlihatkan suasana malam kota, duduk disalah satu sofa yang mengahadap langsung pada wajah malam kota kami. Dia yang duduk disampingku masih saja menarik –narik kedua pipiku.

“Ranti, apa yang sedang kau lakukan hah?”.Ranti –pacarku saat aku duduk di bangku SMA. Aku melihatnya sedang jalan berdua dengan si gadis yang bergelayutan manja pada si pria. “Hah, bagus sekali. Ternyata selama ini benar apa kata teman –teman... Aku berusaha untuk tidak mempercayai mereka, tapi setelah aku melihatnya sendiri... aku baru sadar kau telah membuang 2 tahun waktuku, Ranti Aulia.” Ranti dengan wajah pucatnya memohon dan mulai menjelaskan bahwa yang dia lihat ini, tidak seperti yang ada dipikiranku. Aku coba untuk memberi dia kesempatan untuk menjelaskan, tapi kurasa semua yang dia lontarkan terasa lelucon bagiku. Pria yang saat ini sedang melihat Ranti menjelaskan alasan gilanya –hanya berdiri santai dengan senyuman miring diwajahnya. Serasa makain konyol saja semua ini. Tiba –tiba, pria itu mengatakan bahwa, mereka telah berhubungan sejak 3 tahun yang lalu dan dia juga telah mengetahui bahwa aku ada. Dia memakluminya. Dasar pria gilaaaa. Dan mulai saat itu, aku menganggap aku tak pernah menjalin apapun dengan gadis yang bernama Ranti Aulia.


“hanya tak menyangka aku akan menjadi suami dari gadis konyol, tak jelas, gila dan jelek ini...” ucapku lalu memandang ke arah Farisha yang hanya tertawa terpingkal –pingkal. “karena Tino Ahyar Hamish mencintai, menyayangi dan menerima gadis yang konyol, tak jelas, gila dan jelek bernama Farisha Anissa Gunawan ini” aku tertawa keras mendengar jawabannya. Ya benar, aku memang mencintai segala dari setiap jegkal dirinya. Mulai dari kekurangan, kelebihan dan kegilaanya. Aku menerima semua, karena tanpa dirinya aku tak merasa benar.

Kamis, 03 Desember 2015

Another Date

“Kamu tahu? Kadang hal sederhana dan tak masuk akal yang kamu omelkan atau lakukan itulah yang aku syukuri darimu. Aku tahu kamu mengomel ini – itu untuk kebaikanku, aku sadar itu. Terima kasih telah sabar menghadapiku”


GIRL’S POV

                “aku tahu akan jadi seperti ini, jadi aku sudah mempersiapkan semuanya. Sebentar aku harus kebelakang dulu.” Saat ini kami sedang dipinggir jalan raya yang dekat dengan sebuah restoran yang berada –bisa dibilang dataran tinggi dikota kami. Sebelumnya kami sudah berusaha mencari parkiran yang dekat dengan restoran tersebut, tapi karena hari ini Sabtu malam pengunjung restoran tersebut membeludak. Yaah, jadilah kami mendapat tempat parkir yang cukup jauh dari restoran tersebut.  Dia selalu saja ceroboh, selalu bertindak tanpa mempertimbangkan keadaan yang ada, padahal hari ini cuaca sangat mendung dan sangat besar potensinya untuk hujan. Padahal rencana awalnya ingin melihat pemandangan malam kota dari sini, karena hujan yang –sebenarnya sudah aku perkiran , merusak rencananya.
                “kamu ambil apa sih, nyus?” dia selalu saja mengomel. Tapi aku menyukainya, hahaha. Setelah aku bersusah payah merangkak ke jok paling belakang, akhirnya aku menemukan payung yang aku bawa sebelum berangkat tadi. Yang diam –diam aku masukkan ke jok mobilnya saat dia memakan kue buatan ibuku dengan rakus. Haah, selalu saja begitu –dia sangat menyukai apapun yang dibuatkan ibuku untuknya. Memakan sampai remahan terkecil, itu hobinya.
                “waah, kapan kamu memasukknya. Aku tak melihat –pun?” katanya kagum dan langsung menjitak kepalaku saat aku sudah berada disampinya. Haaah, dasar Tino gila... selalu saja jitakan. Ngomong –ngomong dia hobi sekali menyiksaku, kadang pipiku, pinggang, lengan, dahi yang menjadi sasaran empuknya melayangkan tangan jahilnya tersebut.
                “hobi sekali menyisaku... bukannya berterima kasih malah jitak kepalaku. Siapa suruh ngotot kesini padahal sudah tahu mau hujan, hmm?” semburku dengan jengkel.
                “owh... owwh lihat bibirmu sudah bertambah panjang 5 cm, hahahaha pinokioku sayang jangan marah yaa...” dia langsung menjangkau leherku dan aku mendapat jitakan lembut dan bonus gelitikan yang membuat kami tertawa bersama.
“wah, pinokio ? akhir –akhir ini kosa kata panggilanmu semakin bertambah banyak ya, Mister Tino? Kemarin itik, semut, dan unyus. Kenapa tak sekalian ingus saja haaa? Dan sekarang pinokio? Setahuku pinokio hidungnya yang panjang bukan bibir “ omelku sambil memanjukan bibirku lagi. Dan mengalihkan pandanganku ke luar jendela.
“wah wah lagi lagi... pinokio jelek” terdengar tertawanya semakin keras. Mendengar tertawanya yang sangat riang, aku pun tak tahan dan ikut tertawa bersamanya. Dan saat dia sedang asyik tertawa, aku julurkan tanganku untuk menggelitikinya.
“ini hukuman untuk monyet jelek yang sedang menertawakan tuan putri yang cantik ini” ocehku asal. Semakin keras usahaku untuk menggelitikinya. Semakin keras kami tertawa.
“hahaha.. ap-apaaa haaahahaha tuan putri hahahaha.. ya-yang cantik hahaha... mimpi saja hahahaha kau hahaha, jelek” jawabnya masih tertawa keras. Kami masih didalam mobil berdebat dan tertawa bersama –mendebatkan dan menertawakan hal yang tak penting sebenarnya. Haaah, betapa aku menyukai perdebatan yang tak penting kita ini Tino, betapa aku menyayangimu dan betapa bersyukurnya aku, ada kau disampingku.
 “ehhh... eooh.. apa kau bilang?” aku berhenti menggelitikinya, menjauhkan tanganku seketika darinya.
“jelek...” jawabnya dengan sisa tawa yang masih terdengar.
“ayoo turun. Aku lapar.” Singkatku. “bawa payung itu jangan lupa...” tambahku, menunjuk payung yang berada di jok belakang.
“baiklah” jawabnya dengan wajah cerah. Dasar Tino gila. “aku juga lapar...”
“kenapa kamu selalu mengikutiku, aku lapar kamu juga ikut. Padahal tadi dirumah kamu sudah makan banyak kue yang dibuat ibu, kan?”
“hahaha, kamu seperti tak tahu aku saja, sayang”
“cih, dasar...” akupun tersenyum. Aku mencintainya.
***
“romantis kan jalan dibawah hujan seperti ini, kan kan kan ?” ocehku padanya. Dia malah menjitak dahiku lembut. “apanya yang romantis, hah? Basah iya..” gerutunya sambil terus berjalan dan menggenggam tanganku lebih erat.
“Kamu tahu? Kadang hal sederhana dan tak masuk akal yang kamu omelkan atau lakukan itu yang aku syukuri darimu. Aku tahu kamu mengomel ini – itu untuk kebaikanku, aku sadar itu. Terima kasih telah sabar menghadapiku” ucapnya sambil mencium tanganku yang dia genggam. Aku hanya tersenyum dan memeluk lengannya yang berada disampingku. Aku tahu dia sangat menyayangiku dan sebaliknya aku.

                

Kamis, 22 Oktober 2015

That Day !!!


Aku juga sangat bersyukur karena Allah telah menghadiahkan pangeran yang tak sempurna ini padaku. Sungguh dia melengkapiku.



Girl's POV

            “kamu dimana sih, aku lelah sudah memutari taman ini beberapa kali tapi kamu tak terlihat sama sekali. Kakiku serasa mau copot, jelek!!”. Dia malah mematikan telfonku, awas kau Tino, aku marah padamu. Dia menyuruhku datang ke taman kota 30 menit yang lalu, katanya sangat penting dan aku harus datang secepatnya. Aku sudah memutari taman ini berulang kali untuk menemukan sosok bersenyum manis itu, tapi aku tak menemukan dimanapun. Aku melihat sekelebat orang yang sangat mirip dengan wajah Dena –sahabatku, dan beberapa temanku yang lain saat aku pertama memasuki taman ini. Aku punya firasat yang tak mengenakan. Kucoba menghubunginya tapi yang kudengar hanya dengungan operator yang sibuk menyambungkan panggilanku padanya. Awas kau pipi tembam, kau akan membayar ini karena tak mengangkat telfonku. Aku mencoba menghubungi Tino lagi, tapi aku memperoleh hasil yang sama, sia –sia.
Setelah berulang –kali menelfon untuk yang kesekian kalinya telfonku dijawab olehnya. “kenapa kamu matiin telfonku yang tadi ? kamu sebenarnya dimana ?” dia tak menjawab apapun. Akhirnya aku memilih duduk dikursi taman yang dekat dengan sebuah caffe sederhana yang biasa aku kunjungi dengannya. “kalau tak ada yang penting aku mau pulang” ucapku lemah. Rasanya air mata ini mau meleleh saat tak ada jawaban apapun yang aku dengan setelahnya. “ ya sudah aku pulang, nanti hubungin aku ya” tak terasa air mataku luluh. Dia hanya mengerjaiku ternyata. Aku berusaha untuk menghubungi Dena lagi, untungnya dia mejawab. “Lo dimana, Den. Gue kesitu ya” singkatku setelah mngucapkan salam. “nggak usah gue aja yang kesitu...” jawabnya setelah itu telfonku dimatikan olehnya. Hah, dasar anak itu. Akupun menunggu dengan air mata yang terus meleleh.
Tiba –tiba dari belakang ada suara yang sangat aku kenal membisikkan kata cemoohan, “dasar cengeng..” akupun menoleh dan melihat Tino berdiri dibelakangku dengan seyuman yang sangat aku kagumi dari dirinya. “jelek... kemana aja sih. Aku capek tahu” dengan senyuman lega dan air mata yang masih meleleh aku hampiri dia dan mencubit pipinya –kebiasaanku saat aku gemas padanya.
“eeh, udah dong. Iya deh maafin aku ya” dia menunjukkan senyum itu lagi. “gak aku maafin...” singkatku. Dia mengacugkan sebuah cup choco ball yang sangat aku sukai, “selamat ulang tahun ya, jelek. Aku bohong baget kalau gak sayang sama kamu. Semoga kamupun sebaliknya ya” ucapnya tanpa kata romantis yang biasa membuat gadis melayang, tapi itulah Tinoku. Dan aku sangat menyayangi dan juga mencintainya. Kupeluk dia singkat sebagai rasa terima kasihku. Dia pun mengajakku untuk makan malam di caffe tadi. Caffe tersebut terdiri atas ruangan –ruangan pribadi seperti ditempat karaoke tapi dilapisi kaca yang cukup terang dan dapat dilihat dari luar.
Saat kami masuk, ada sebuah ruangan yang dihiasi sedemikian rupa, balon berwarna baby blue memenuhi ruangan itu dan bungan mawar putih kesukaanku juga menghiasinya, serta lampion –lampion kecil menggantung rapi disekelilingnya. Indah batinku. “pasti senang banget ya, yang dapat kejutan itu” celetukku pada Tino. Dia hanya menanggapi dengan deheman dan senyuman manisnya. Kami semakin dekat dengan ruangan itu, “No, bagus banget...” ucapku setelah melewati ruangan itu, tapi aku seperti mengenal orang –orang yang berada di dalam sana. Ada Dena, Fita, Fira, Ineke, Rendra, Mario dan kedua kakakku –kak Revan dan Nisya. “No, kok mereka ada disana” ucapku dengan menghentikan langkahku tepat didepan pintu masuk. Sepertinya mereka tak menyadari kedatangaku dan Tino.
“ayo, masuk saja. Kamu udah dirunggu dari tadi sama mereka. Pake lama sih, dasar jelek” ejeknya dan mengacak rambutku lembut. “tapi aku kira Cuma berdua aja” saat aku menyelesaikan kalimatku kak Nisya – saudara iparku, yang menghadap pintu menyadari kedatangan kami. “pemeran utama sudah datang anak –anak, cepat buakain pintunya” seru kakak cerewetku. Dena pun membuka pintu, “mari masuk pangeran dan putri...” aku yang mendengar itu langsung menusukkan mata tajamku padanya. Dasar tembem.
Setelah kami masuk, ternyata dekorasi khusus itu untuk merayakan ulang tahunku. Aku bersyukur bisa dikelilingi oleh orang –orang yang sangat menyayangiku dan peduli seperti saat ini, kami bercanda dantertawa bersama. Aku juga sangat bersyukur karena Allah telah menghadiahkan pangeran yang tak sempurna ini padaku. Sungguh dia melengkapiku.
Tiba –tiba terdengar lagu Marry You dari Jason Derulo dan Tino meraih tanganku dan menggengamnya. “kamu tahu sendiri aku tak pernah bisa berkata romantis seperti orang diluaran sana, kan ?” itu kata pertama yang Tino ucapkan membuat semua orang yang duduk diruangan itu memperhatikan kita dengan kebisuan. Aku hanya menganggukan kepalaku dengan tatapan bingung yang sangat jelas. Apa –apaan anak ini. “kamu juga tahu sekali kalau aku tak bisa berlaku seperti drama –drama Korea yang sering kamu tonton. Aku jauh dari kata sempurna, kamu tahu itu juga kan?.” Dia menghela nafas sejenak dan aku kedua kalinya menganggukan kepala “Gadis pintar”ucapnya. “terima kasih sudah mau menerima kekeras kepalaanku..., pengertianmu dalam menghadapiku, dan juga kesabaranmu selama 3 tahun ini. Lalu terima kasih untuk Ibu yang sudah melahirkanmu, Ayah yang sudah mendidikmu dan kak Revan yang sudah menjagamu selama ini.” Dia menghela nafas untuk kedua kalinya sambil menggaruk kepalanya yang aku yakin tak gatal, dia hanya mencoba untuk menutupi kegugupannya “Ah,.. aku rasa, aku tak bisa berkata –kata lagi “ dia tersenyum dan diikuti derai tawaku dan penonton disekeliling kami. Aku rasa air mataku sudah mau menetes, pandanganku buram. Aah dasar pria jelek ini, akupun tersenyum.

Dia menoleh pada kak Revan yang duduk diujung bersama istrinya yang mengenggam tangannya, “kak Revan bolehkah aku menggantikanmu menjaga gadis jelek ini ?” lagi, tawa riuh menggema dari ruangan kami. “selama gadis jelekmu itu menerima aku akan memperbolehkannya. Lagipula, aku sudah bosan terus menjaganya, hahaha” aku langsung melayangkan padangan tajamku dan geraman jengkel pada kakak tersayangku itu. “Farisha Gunawan apa kamu mau menerima kekuranganku ini dengan menikah denganku?” Tino mengeluarkan korak beludru berwarna biru dari saku jaketnya. Aku tersenyum, air mataku sudah meleleh sejak tadi ia berterima kasih padaku, dia membuka kotak itu dan menampilakan sebuah cincin berwarna perak sederhana dengan mata berlian ditengahnya. Aku tak bisa berkata –kata lagi, tenggorokanku tercekat, alhasil aku hanya menganggukan kepalaku dengan senyuman yang tak bisa aku hilangkan dari wajah penuh air mataku. Dan Tino memelukku sebagai tanda terima kasihnya. “aku akan membawa orang tuaku besok lusa...” aku hanya mengeratkan pelukanku padanya. Suara tepuk tangan dan sorakan –pun memenuhi ruangan kami. Aku tak habis mengucapkan kata syukurku pada Allah tentang apa yang telah terjadi hari ini. Terima kasih ya Allah.