‘Kenapa hati
ini terasa berbeda?’
8 years before,
Still in High School.
First time, they have been met.
“Icha minggu depan kamu benar tidak ada acara ?" seorang
laki –laki yang berjalan beriringan dengan gadis berambut coklat itu bertanya dengan
antusias.
“ iya, Fahmi. Aku sudah berapa kali bilang sama kamu kalau janjiku dengan saudaraku dibatalkan. Jadi, aku bisa jalan denganmu dan yang lain. Jelas, Fahmi Aryasena ?”. Papar gadis bernama Icha tersebut.
“hahaaha, actually I just wanna remind you. Yuhuu, it’s gonna be fun !” sorak Fahmi sambil memegang bahu Icha dan mendorongnya lembut dari belakang agar cepat sampai di kantin sekolah mereka.
“ iya, Fahmi. Aku sudah berapa kali bilang sama kamu kalau janjiku dengan saudaraku dibatalkan. Jadi, aku bisa jalan denganmu dan yang lain. Jelas, Fahmi Aryasena ?”. Papar gadis bernama Icha tersebut.
“hahaaha, actually I just wanna remind you. Yuhuu, it’s gonna be fun !” sorak Fahmi sambil memegang bahu Icha dan mendorongnya lembut dari belakang agar cepat sampai di kantin sekolah mereka.
Saat mereka berdua melewati deretan kelas IPS, terdengar
seseorang menyerukan nama Fahmi. “ Wuhuuu, gebetan baru nih, Mi ?” Fahmi dan
Icha –pun berhenti, menoleh pada sumber suara, membuat mereka saling pandang
dan tertawa terbahak –bahak.
“hahahaha, gebetan?” seru Fahmi dan Icha bersamaan.
Laki –laki itu-pun mendekat dan menjitak kepala Fahmi. “Woy,
sakit bego! ” seru Fahmi. Dia pun membalas jitakan laki –laki tersebut. “Bego,
ini teman sekelas gue. Dasar sok tahu lo” jelas Fahmi dengan sisa tawanya.
Farisha atau biasa dipanggil Icha tersebut hanya tertawa maklum dengan tingkah
dua laki –laki yang ada di depannya tersebut.
“Loh, bukannya kamu yang aku tabrak waktu itu, ya ?” seru laki-laki
tersebut, setelah bertatap muka dengan Farisha.
“Ohh, kalian sudah saling kenal ?” tanya Fahmi.
“Benarkah ?” tanya
Icha dengan raut muka heran. ‘Sepertinya wajahnya memang tak asing. Tapi dimana
aku pernah bertemu dengannya ?’ batin Icha mengamati wajah laki –laki yang
berdiri didepannya tersebut.
“Jalan tikus?” seru mereka bersamaan. Dan mereka pun tertawa.
Saling menertawakan keadaan mereka pada waktu itu.
“Sumpah, muka kamu pucat banget waktu itu” kata Farisha.
“Kamu harus lihat mukamu sendiri baru bilang kalau mukaku
pucat. Kamu seputih kertas, parah... parah, parah”jelas laki –laki itu dengan
tawa yang tak bisa dia bendung. Sampai matanya menyipit, tak terlihat.
Kebiasaanya saat tertawa.
‘Imutnya...’ batin Farisha, memperhatikan wajah laki –laki
itu saat tertawa. Apalagi ketika dia tersenyum di akhir tawanya, membuat
Farisha terhipnotis untuk ikut menyunggingkan senyumnya dengan tulus.
“Tapi, kamu lolos kan
dari pak Salim waktu itu?” tanya Icha antusias, tanpa memperdulikan –melupakan
mungkin lebih tepatnya, keberadaan Fahmi yang sejak tadi memperhatikan cerita mereka
berdua. Menoleh bergantian, kadang pada
Icha saat dia sedang bicara dan sebaliknya pada laki –laki tersebut.
“Loloslah... Bisa dibilang aku ahlinya hal semacam itu” jelasnya bangga, sambil menepuk
dadanya bangga dan tersenyum sumringah.
‘Waah, lihatlah senyum itu. Rasanya sinar pada senyumya
terlalu menyilaukan untukku lihat. Tuhan...’ batin Icha lagi, tak ia sadari
senyum tulus tersungging dari bibirnya.
“Aku tak bisa membayangkan kalau kita ketangkap oleh guru pendek
itu. Kuping kita mungkin jadi semerah tomat dan kita sudah menjadi well –done meat .hiiii, ngeri.” Jelas
Icha sambil membayangkan dia dan laki laki tersebut diseret ketengah lapangan upacara, sambil dijewer dan
setelah itu mereka berdua harus menemani tiang bendera yang sendirian itu
selama pelajaran pertama berlangsung sampai jam istirahat.
“Hmm, setuju dengamu” serunya dengan anggukan antusias. “Bukan
well-done lagi tapi, gosong lebih tepatnya” tambah laki –laki itu sambil
begidik ngeri.
“Aku ke kantin duluan ya, Cha. Serasa jadi obat nyamuk
disini” ujar Fahmi akhirnya setelah percakapan panjang mereka. Farisha dan laki
–laki itu saling berpandangan dan tertawa bersama.
“Waah, Mami ngmabek nih. Ya sudah... ayo kita jalan lagi”
ujar Icha sambil menggandeng Fahmi pergi tapi, tiba-tiba sebuah tangan
menggapai lengan Icha.
“Tunggu, kita belum kenalan. Aku Tino, kamu?” selanya.
“Ya ampun monyet satu ini modusmu terlihat sekali, bego. Tak
bisa lihat yang bening sedikit lo, dasar
monyet?” sela Fahmi tak bisa menahan tawanya.
Icha yang mendengar itu hanya tertawa, “Kenalin Farisha. Tapi
anak –anak biasa panggil Icha” jelas Icha sambil menjabat tangan Tino dan ia
menambahkan senyum termanis yang ia punya.
“apaan sih lo... Icha saja tak keberatan. Iya kan, Cha..”
tambah laki-laki bernama Tino tersebut.
“di iyaa-in sajalah... “ jawab Fahmi dengan gelengan kepala,
pasrah.
“Nice to know you,
Chacha. See ya” Icha hanya tersenyum
dan melambaikan tangan pada Tino dan meninggalkannya dengan Fahmi yang meminta
jatah traktir darinya.
“Sudah beneran kan yaa ini ? Aku lapar nih, Cha. Kamu harus
traktir. Wajib.” Tagih Fahmi, memaksa Icha lebih tepatnya.
“Dasar kamu perut karet...” tambah Icha sambil menjambak
rambut Fahmi, gemas. Yang menjadi korban hanya tertawa sambil lalu.
Tino yang masih berdiri ditempat semula masih memperhatikan
Icha dari belakang. Sampai Icha dan Fahmi ditelan belokan kelas. ‘Kenapa hati ini
terasa berbeda?’ batin Tino sambil
menerawang kepergian Icha. Tiba –tiba sebuah tangan bergelayut manja di
lengannya. Tino –pun menoleh dan tersenyum.
“yuk, Sayang ke kelas.
Aku tadi bawa bekal, makan berdua ya” kata gadis yang sedang memasang wajah
gembira tersebut. Dan mereka –pun
berjalan berdua meninggalkan koridor kelas dengan bergandengan tangan.
“ayo, Yang. Perutku juga sudah demo dari tadi” jawab Tino
dengan senyum.
***