Senin, 24 Oktober 2016

I Met You

‘Kenapa hati ini terasa berbeda?’



8 years before,

Still in High School. First time, they have been met.

“Icha minggu depan kamu benar tidak ada acara ?" seorang laki –laki yang berjalan beriringan dengan gadis berambut coklat itu bertanya dengan antusias. 
“ iya, Fahmi. Aku sudah berapa kali bilang sama kamu kalau janjiku dengan saudaraku dibatalkan. Jadi, aku bisa jalan denganmu dan yang lain. Jelas, Fahmi Aryasena ?”. Papar gadis bernama Icha tersebut. 
hahaaha, actually I just wanna remind you. Yuhuu, it’s gonna be fun !” sorak Fahmi sambil memegang bahu Icha dan mendorongnya lembut dari belakang agar cepat sampai di kantin sekolah mereka.

Saat mereka berdua melewati deretan kelas IPS, terdengar seseorang menyerukan nama Fahmi. “ Wuhuuu, gebetan baru nih, Mi ?” Fahmi dan Icha –pun berhenti, menoleh pada sumber suara, membuat mereka saling pandang dan tertawa terbahak –bahak.

“hahahaha, gebetan?” seru Fahmi dan Icha bersamaan.

Laki –laki itu-pun mendekat dan menjitak kepala Fahmi. “Woy, sakit bego! ” seru Fahmi. Dia pun membalas jitakan laki –laki tersebut. “Bego, ini teman sekelas gue. Dasar sok tahu lo” jelas Fahmi dengan sisa tawanya. Farisha atau biasa dipanggil Icha tersebut hanya tertawa maklum dengan tingkah dua laki –laki yang ada di depannya tersebut.

“Loh, bukannya kamu yang aku tabrak waktu itu, ya ?” seru laki-laki tersebut, setelah bertatap muka dengan Farisha.

“Ohh, kalian sudah saling kenal ?” tanya Fahmi.

 “Benarkah ?” tanya Icha dengan raut muka heran. ‘Sepertinya wajahnya memang tak asing. Tapi dimana aku pernah bertemu dengannya ?’ batin Icha mengamati wajah laki –laki yang berdiri didepannya tersebut.

“Jalan tikus?” seru mereka bersamaan. Dan mereka pun tertawa. Saling menertawakan keadaan mereka pada waktu itu.

“Sumpah, muka kamu pucat banget waktu itu” kata Farisha.

“Kamu harus lihat mukamu sendiri baru bilang kalau mukaku pucat. Kamu seputih kertas, parah... parah, parah”jelas laki –laki itu dengan tawa yang tak bisa dia bendung. Sampai matanya menyipit, tak terlihat. Kebiasaanya saat tertawa.

‘Imutnya...’ batin Farisha, memperhatikan wajah laki –laki itu saat tertawa. Apalagi ketika dia tersenyum di akhir tawanya, membuat Farisha terhipnotis untuk ikut menyunggingkan senyumnya dengan tulus.

 “Tapi, kamu lolos kan dari pak Salim waktu itu?” tanya Icha antusias, tanpa memperdulikan –melupakan mungkin lebih tepatnya, keberadaan Fahmi yang sejak tadi memperhatikan cerita mereka berdua. Menoleh bergantian, kadang  pada Icha saat dia sedang bicara dan sebaliknya pada laki –laki tersebut.

“Loloslah... Bisa dibilang aku ahlinya hal semacam itu” jelasnya bangga, sambil menepuk dadanya bangga dan tersenyum sumringah.

‘Waah, lihatlah senyum itu. Rasanya sinar pada senyumya terlalu menyilaukan untukku lihat. Tuhan...’ batin Icha lagi, tak ia sadari senyum tulus tersungging dari bibirnya.

“Aku tak bisa membayangkan kalau kita ketangkap oleh guru pendek itu. Kuping kita mungkin jadi semerah tomat dan kita sudah menjadi well –done meat .hiiii, ngeri.” Jelas Icha sambil membayangkan dia dan laki laki tersebut diseret  ketengah lapangan upacara, sambil dijewer dan setelah itu mereka berdua harus menemani tiang bendera yang sendirian itu selama pelajaran pertama berlangsung sampai jam istirahat.

“Hmm, setuju dengamu” serunya dengan anggukan antusias. “Bukan well-done lagi tapi, gosong lebih tepatnya” tambah laki –laki itu sambil begidik ngeri.

“Aku ke kantin duluan ya, Cha. Serasa jadi obat nyamuk disini” ujar Fahmi akhirnya setelah percakapan panjang mereka. Farisha dan laki –laki itu saling berpandangan dan tertawa bersama.

“Waah, Mami ngmabek nih. Ya sudah... ayo kita jalan lagi” ujar Icha sambil menggandeng Fahmi pergi tapi, tiba-tiba sebuah tangan menggapai lengan Icha.

“Tunggu, kita belum kenalan. Aku Tino, kamu?” selanya.

“Ya ampun monyet satu ini modusmu terlihat sekali, bego. Tak bisa lihat yang bening sedikit lo,  dasar monyet?” sela Fahmi tak bisa menahan tawanya.

Icha yang mendengar itu hanya tertawa, “Kenalin Farisha. Tapi anak –anak biasa panggil Icha” jelas Icha sambil menjabat tangan Tino dan ia menambahkan senyum termanis yang ia punya.

“apaan sih lo... Icha saja tak keberatan. Iya kan, Cha..” tambah laki-laki bernama Tino tersebut.

“di iyaa-in sajalah... “ jawab Fahmi dengan gelengan kepala, pasrah.

Nice to know you, Chacha. See ya” Icha hanya tersenyum dan melambaikan tangan pada Tino dan meninggalkannya dengan Fahmi yang meminta jatah traktir darinya.

“Sudah beneran kan yaa ini ? Aku lapar nih, Cha. Kamu harus traktir. Wajib.” Tagih Fahmi, memaksa Icha lebih tepatnya.

“Dasar kamu perut karet...” tambah Icha sambil menjambak rambut Fahmi, gemas. Yang menjadi korban hanya tertawa sambil lalu.

Tino yang masih berdiri ditempat semula masih memperhatikan Icha dari belakang. Sampai Icha dan Fahmi ditelan belokan kelas. ‘Kenapa hati ini terasa berbeda?’ batin Tino sambil menerawang kepergian Icha. Tiba –tiba sebuah tangan bergelayut manja di lengannya. Tino –pun menoleh dan tersenyum.

 “yuk, Sayang ke kelas. Aku tadi bawa bekal, makan berdua ya” kata gadis yang sedang memasang wajah gembira tersebut. Dan mereka –pun  berjalan berdua meninggalkan koridor kelas dengan bergandengan tangan.

“ayo, Yang. Perutku juga sudah demo dari tadi” jawab Tino dengan senyum.
***